Jalan aspal dengan lubang di sana-sini itu dipayungi gelap. Sebuah sedan mungil meluncur pelan, menerbangkan daun dan ranting yang berserakan di jalan. Melewati pepohonan dan perdu di pinggir jalan yang tumbuh liar. Mobil berhenti didepan sebuah gapura di ujung jalan Desa Gaprang, Kabupaten Blitar.
“Disini tempatnya, pak Wakidi?”
“Inggih pak.”
“Tapi maaf…, nanti kulo nunggu dimobil saja nggih? Ibu nanti kan harus melakukan ritual khusus” jawab pak Wakidi, yang setelah mencuri lihat ke arah Maya langsung menunduk lagi. Pak Wakidi tahu, Maya jengkel padanya. Karena pak Wakidi, ibu Bagas jadi punya ide menyuruh Maya dan Bagas untuk ritual aneh ini. Jaman bayi tabung kok masih percaya yang beginian, sungut Maya waktu itu.
Lampu sedan menyorot gapura tempat pemujaan itu. Sekilas terbaca tulisan cat hitam yg sdh kabur “KELOMPOK RECA GAPRANG” di papan kayu di belakang gapura. Beberapa pohon liar merimbun disudut-sudut tanah. Semak-semak dan rerumputan tumbuh dimana-mana merambat dari pagar-pagar pinggir hingga gapura depan, jauh dari terawat. Perasaan Maya tak karuan. Dia ingat beberapa film horror yang pernah di tontonnya. Dari awal Maya tidak suka di ajak ke petilasan kelompok Reca Gaprang yang katanya bisa mendapatkan berkah keturunan. Yang ada di hati Maya sekarang adalah secepatnya bisa keluar dari tempat itu.