Minggu, 11 November 2012

cerita KYAI GAPRANG

Jalan aspal dengan lubang di sana-sini itu dipayungi gelap. Sebuah sedan mungil meluncur pelan, menerbangkan daun dan ranting yang berserakan di jalan. Melewati pepohonan dan perdu di pinggir jalan yang tumbuh liar. Mobil berhenti didepan sebuah gapura di ujung jalan Desa Gaprang, Kabupaten Blitar.
“Disini tempatnya, pak Wakidi?”
“Inggih pak.”
“Tapi maaf…, nanti kulo nunggu dimobil saja nggih? Ibu nanti kan harus melakukan ritual khusus” jawab pak Wakidi, yang setelah mencuri lihat ke arah Maya langsung menunduk lagi. Pak Wakidi tahu, Maya jengkel padanya. Karena pak Wakidi, ibu Bagas jadi punya ide menyuruh Maya dan Bagas untuk ritual aneh ini. Jaman bayi tabung kok masih percaya yang beginian, sungut Maya waktu itu.
Lampu sedan menyorot gapura tempat pemujaan itu. Sekilas terbaca tulisan cat hitam yg sdh kabur “KELOMPOK RECA GAPRANG” di papan kayu di belakang gapura. Beberapa pohon liar merimbun disudut-sudut tanah. Semak-semak dan rerumputan tumbuh dimana-mana merambat dari pagar-pagar pinggir hingga gapura depan, jauh dari terawat. Perasaan Maya tak karuan. Dia ingat beberapa film horror yang pernah di tontonnya. Dari awal Maya tidak suka di ajak ke petilasan kelompok Reca Gaprang yang katanya bisa mendapatkan berkah keturunan. Yang ada di hati Maya sekarang adalah secepatnya bisa keluar dari tempat itu.


 
“Pak Wakidi, matikan lampunya”, Maya tak suka kalau apa yang nanti harus dilakukannya sampai dilihat orang lewat atau Wakidi, sopir keluarga Bagas, suaminya itu. Apalagi malam ini, Maya harus rela memakai rok tanpa celana dalam untuk mempermudah ritual yang harus mereka lakukan.. Benar- benar aneh. Bagaimana pikiran orang-orang kalau tahu Maya berkeliaran tanpa underwear.
Tanpa menyahut, pak Wakidi pun mematikan lampu mobil.
==&&&==
Angin bertiup semilir. Suasana sepi hanya ditingkahi nafas Bagas dan Maya yang menapaki jalan setapak menuju tempat Reca Gaprang, diselingi suara serangga malam yang mengerik. Suara keriut rerumpunan bambu dan lampu senter berkedip-kedip yang Bagas bawa untuk menemani perjalanan mereka berdua

2
Reca yang menjadi pusat petilasan kelompok Reca Gaprang itu ternyata ada ditengah-tengah pendapa kecil yang agak tidak terurus. Bagas dan Maya pun bergegas mendekatinya. Reca perempuan yang disebut sebagai Nyai Gaprang duduk bersila menghadap selatan didepan Reca Kyai Gaprang yang duduk bersila menghadap ke arah utara. Keduanya setinggi pinggang orang dewasa yang berdiri. Kedua Reca itu kelihatan kotor tertutup semacam lumpur yang berwarna kuning (yang merupakan pelengkap bunga rampai yang biasa dikirim di petilasan atau pemakaman).
Maya kaget. Reca
Kyai Gaprang itu duduk sambil memegang alat kelaminnya yang bukan main panjang dan besarnya. Panjangnya kira-kira 2 kaki dan puncaknya mencapai hidung Reca Kyai Gaprang..
Bagas pun seperti tidak mau membuang waktu dengan percakapan yang tak perlu. Setelah memberi penjelasan ritual apa yang harus Maya kerjakan, Bagas segera menabur di hadapan kedua
Reca itu.
Maya yang masih terbengong bengong melihat Reca Kyai Gaprang itu sampai tak menyadari kalau ritual yang Bagas lakukan sudah selesai, sampai Bagas menepuk bahunya pelan. Tanpa sadar, Maya menggenggam tangan bagas dan Bagas pun meremas tangan Maya memberi dukungan. Maya melangkah mendekati Reca Kyai Gaprang. Dengan ragu – ragu dia mengangkat roknya tinggi-tinggi karena menurut kepercayaan, ritual yang harus dilakukannya adalah perempuan yang ingin mempunyai anak harus duduk dipangkuan Reca Kyai Gaprang dengan kemaluan ditempelkan pada kelamin Reca tersebut.

Sesaat, sebelum Maya duduk,
Maya melihat sudut mulut Reca laki-laki itu tertarik membentuk senyuman. Terpekik kaget, Maya melepaskan rok yang sudah diangkatnya tinggi – tinggi itu.
Bagas terkejut memandangnya.. mengerutkan alis tak mengerti.
“Ada apa May?”
“Reca ini tersenyum, Gas!”
Bagas sontak menunduk ke arah Reca Kyai Gaprang yang kepalanya berlepotan lumpur kuning. Setengah tak percaya dengan kata – kata Maya. Tapi mulut Reca laki – laki itu diam sama sekali tidak ada pernah ada senyum terukir disana.
“Hanya halusinasimu saja May.”
“Ayolah May, semakin cepat kamu melakukannya, semakin cepat kita pergi dari sini. Okey?”
bujuk Bagas meyakinkan Maya.
Maya pun lantas mengangkat lagi roknya dan duduk dengan menempelkan kemaluannya dikelamin mbah Gaprang. Sesaat, Maya merasakan keanehan. Kelamin Reca yang menempel di kemaluannya tidak dingin layaknya batu. Tapi perasaan itu dibuangnya jauh – jauh didorong keinginannya untuk bisa secepatnya pergi dari tempat aneh itu.
==&&&==
Wajah perempuan yang sudah dinikahinya selama 20 tahun itu tampak prihatin ketika Wakidi menceritakan Bu Patmi menyuruh Maya dan Bagas melakukan ritual nyadran di petilasan Kyai Gaprang. Terlebih lagi, dia tahu persis bagaimana watak istri Bagas yang kurang bias menghargai pendapat orang lain itu..
Membayangkan saja, dia dan Wakidi yang penduduk asli Blitar saja enggan nyadran disana meskipun belum juga dikarunia momongan. Tidak saja kabar yang kurang menyenangkan yang didengar istri Wakidi ini. Kabar terakhir, perempuan yang pernah nyadran ke sana ada yang ‘owah pikire’ alias gila.
Ah biarlah, desah perempuan itu. Bu Patmi (ibu Bagas) pasti juga sudah pernah mendengar kabar ini. Pasti beliau sudah mempertimbangkan maksudnya menyuruh anak dan menantunya nyadran kesana. Lagi – lagi, istri Wakidi begidik ngeri.
Kok bu Patmi sampai kepikiran nyuruh anak dan menantunya nyadran kui piye critane to kang?”
“Aku yang pertama ngomong masalah petilasan kui, Yem. Lha piye, bu Patmi itu ngeluh terus masalah mas Bagas yg belum juga punya anak.”
“Lha, tapi kalo nanti ada apa – apa sama mbak Maya terus piye pak? Kabare, yang nyadran dari Kediri kapan hari itu sekarang miring lho otaknya.
‘Alaaah…, yo embuh Yem. Pokoke awake dewe ora ngalakoni ae.. Sing jelas, sapa sing nandur bakal ngunduh,” kata Wakidi menenangkan istrinya.
Betul..yang jelas perbuatan seseorang akan mendatangkan risiko-risikonya sendiri sesuai perbuatannya.
==&&&==
Ini kedatangan Maya yang ke 6 kalinya dalam bulan ini. Dia terpaksa datang sendirian, hanya ditemani pak Wakidi yang disuruhnya menunggu dimobil. Bagas harus segera balik ke Jakarta untuk urusan pekerjaan.
Ketakutan yang dulu dia rasakan saat memsuki pekarangan petilasan sekarang digantikan gundah dan ketidaksabarannya ingin menunjukkan bahwa Mbah Gaprang ini hanya mitos belaka. Perasaannya semakin gundah. Tapi ada yang aneh. Seperti ada seseorang yang mengawasi.Maya menoleh kekiri kanan. Tak ada orang sama sekali. Mungkin dia hanya terlalu terbawa perasaan. Lalu dia mendengar suara tangis. Lirih. Maya berusaha mendengar lebih teliti. Lamat-lamat didengar lagi suara itu. Suara seorang perempuan yang menangis dengan pilu. Tangisan itu membuat bulu kuduk Maya meremang. Lebih didorong keingintahuannya, Maya bangkit mencari asal datangnya.
Dibalik rimbunan semak itu, Maya hampir jatuh menabrak sesosok tubuh yang bergelung begitu saja diatas tanah, berguncang - guncang, terisak. Jelas..ini manusia, batin Maya menyusun kembali nyalinya.
“Mbak…mbak… ada apa mbak?”
Seperti tersengat gelungan tubuh ditanah itu, segera bangkit ke posisi duduk mencangkung..sambil mengusap wajah kurusnya yang berleleran airmata bercampur ingus. Perempuan itu masih menunduk ketika Maya duduk disampingnya. Sama sekali tidak bergeming bahkan ketika Maya bercerita tentang dirinya yang dipaksa ibu mertuanya ke petilasan ini karena sudah 10 tahun menikah dengan Bagas tapi belum juga mendapatkan keturunan, tentang kedatangannya yang sudah ke 5 kalinya ke petilasan ini. Maya seperti mempunyai feeling, kalau perempuan disampingnya ini mempunyai nasib yang serupa dengan diriny sehingga dia bebas saja bercerita apa yang terpaksa dilakoninya karena suruhan ibu mertuanya dan saat Maya mulai memaki maki dengan kata kata kotor tentang kesaktian kelamin Kyai Gaprang yang menurutnya hanya isapan jempol belaka, mata perempuan itu menyorot begitu tajam menatap kearahnya.
“Kowe ngerti apa?” sentak perempuan itu tajam
“Buktinya, sudah 5 kali saya kesini, ini yang keenam kalinya, saya belum hamil juga. kata Maya ketus, sambil meludah sembarangan.
Hilang sudah sedu sedan perempuan kurus itu, digantikan muka yang gusar.
“Nek ora percaya ora usah mrene aja kakehan cangkem”.
Maya yang asli Jakarta itu bukannya tidak mengerti bahasa Jawa, tapi kagok mengucapkannya. Kupingnya memerah mendengar kata – kata“cangkem” yang diucapkan perempuan itu.
“Cuuh,” Maya berdiri dan meludah.
“Buktinya kuwi eendhi, mbak?”
Kedongkolannya karena terpaksa melakoni ritual aneh yang tidak ada hasilnya dan kata – kata yang menurutnya tidak pantas, membuat Maya jadi marah. Sambil berderap meninggalkan petilasan, Maya masih sempat – sempatnya mengambil batu dan melemparkanya ke arah 2 Reca punjer petilasan (Nyai dan Kyai Gaprang).
“Pyaar..krosaaak” batu yang dikira Maya tadi ternyata hanya gumpalan batu padas itu mengenai kepala Kyai Gaprang dan pecah menjadi serpihan yang berkrosakan menimpa rerimbunan semak daun disekitar petilasan.
Dengan langkah lebar, Maya lantas keluar dari tanah petilasan menuju mobilnya diluar pagar gapura. Dia tidak tahu kalau perempuan yang tadi bercakap-cakap dengannya lenyap, seperti ditelan bumi. Kedatangan Maya disambut pak Wakidi yang sudah siap dengan mesin mobil yang menyala, seperti tahu suasana hati Maya yang ingin segera pergi dari tempat itu. Pak Wakidi segera menyetir mobil menjauhi tempat itu.
“Aku tadi ketemu dengan perempuan aneh. Tadinya menangis, terus marah - marah. Seenaknya saja.”
Mbak Maya tadi bicara apa dengan perempuan itu Mbak.” Tanya pak Wakidi ingin tahu
“Kata orang – orang yang pernah kesini, perempuan itu baru muncul waktu 10 kali tirah Mbak. Mbak Maya beruntung, baru 6 kali sudah ketemu.”
Beruntung bagaimana? Di cangkem – cangkem kan kok beruntung”
Pak Wakidi seperti kaget waktu Maya bercerita apa yang terjadi.
“Wah mestinya Mbak Maya tidak berkata seperti itu Mbak, itu tadi Nyai Gaprang. Tentu saja perempuan itu marah Mbak. Mbak Maya kan menghina suaminya.”
“Hah!!?? Mereka itu Cuma mitos pak Wakidi!!” jawab Maya dengan ketus
Pak Wakidi hanya diam saja dan tidak berkata apa - apa lagi. Menolehpun seperti enggan. Sikapnya seolah berkata, “Dikasih tau baik-baik, enggak percaya!”
==&&&==
Tersenyum-senyum, Maya menanggalkan pakaian, sekaligus lapisan dalam. Dari lemari ia pilih sehelai gaun. Warnanya merah tua. Kontras dengan kulitnya yang putih. “Seperti lilin!” Bagas seringkali memuji. Tanpa mengenakan lapisan dalam, Maya puas dengan gaun tidur merah tua yang membungkus tubuhnya.
Maya kemudian naik ke tempat tidur menunggu kedatangan suaminya yang katanya akan pulang malam ini, kemudian ia rebah, menelentang. Salah satu kaki sedikit diangkat, sehingga gaun bawahnya agak terbuka. Maya terbiasa menunggu. Maya tersenyum puas. Kelopak matanya memberat, cepat sekali Maya sudah tertidur pulas.
Suara burung malam di luar jendela mengejutkan Maya. Ia menoleh, dan melihat tirai jendela berkibar perlahan, ditiup angin dari luar. Akibatnya, seisi ruangan pun menjadi dingin membeku. Ia berpikir, mengapa ia tadi begitu tolol membuka jendela. Untuk turun lagi dari ranjang, rasanya segan. Apalagi kemudian ia mencium bau segar bunga-bunga menerobos masuk bersama sapuan angin. Dan bau-bauan itu, anehnya mendatangkan kehangatan ditubuhnya. Belaian anginpun mulai mendatangkan kantuk. Mungkin Maya sudah tertidur, lantas bermimpi.
Atau ia masih terjaga dan larut dalam lamunan yang bukan-bukan? Tetapi Bagas sudah ada di sana. Disebelah ranjangnya. Tak terlihat kapan dan bagaimana Bagas masuk. Ia muncul begitu saja, berdiri diam, memandangi Maya ditempat tidur. Sinar lampu dipojok menerangi tubuhnya.
Astaga.
Begitu bernafsunya Bagas sampai semua pakaian sudah tidak melekat lagi ditubuhnya? Dan yang penting, Bagas terlihat yakin betul bahwa Maya menunggu - nunggu kepulangannya. Berbagai tanda tanya memenuhi kepala Maya, tetapi seakan ia terlupa semua itu. Karena, ia hanya terpana menyaksikan bagaimana suaminya itu setengah melayang naik ke tempat tidur dan tahu-tahu sudah ada di atas tubuhnya. Pandangan matanya yang tajam membuat Maya tidak berdaya.
Maya sama sekali tidak berpikir lagi. Ia hanya melihat dan merasakan. Melihat Bagas mundur setelah membuka lebar gaun tidur Maya sebelah bawah. Kemudian laki-laki itu sudah disana. Diantara batang - batang paha Maya. Seperti malam - malam sebelumnya, Maya merasa suaminya sangat bergairah setiap kali habis berpergian. Malam inipun Bagas mencumbunya dengan cara yang bukan main luar biasa.. Nafsu sensual Maya pun bangkit, ketika sosok tubuh yang menyerupai suaminya itu diantara kaki-kaki Maya yang mengangkang. Maya bahkan sampai terlonjak-lonjak dengan hebat.
Dan, dengan sekujur tubuh bak disengat bara api menyala.
Sesaat Bagas berjongkok diatas tubuhnya,
“Ada apa?” Tanya Maya tak mengerti kenapa Bagas menghentikan cumbuannya.
Bagas tak menjawab, hanya tersenyum makin lebar. Maya merasa aneh. Senyum Bagas terasa dibuat-buat. Bukan senyum yang biasa dilihatnya.
“Gaas?”
Tak ada jawaban. Senyumnya menyeringai makin lebar. Detik berikutnya, Bagas menarik tubuh Maya dengan kasar. Maya menjerit kesakitan. Maya nyaris tak mempercayai penglihatannya. Bukan Bagas yang di ada diatasnya!
Bukan.
Dia tengah ditindih sesosok tubuh yang bsar dan kekar. Lebih besar dan kekar dari suaminya. Maya berjuang keras mendorong tubuh di atasnya, dibantu dorongan naluri, namun ia tak kuasa. Ia meronta, menendang, meninju bahkan juga menggigit. Gerakan apa saja ia lakukan utnuk melawan dan melepaskan diri dan melepaskan diri sambil berteriak-teriak histeris, sampai tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Maya membelalak ngeri. Tanpa disadarinya ada sosok lain disamping kepalanya. Sosok itu terkikik, Inilah suamiku, suamiku yang kamu hina itu. Buktikan sendiri kehebatannya” dan sosok perempuan yang pernah ditemui Maya dipetilasan itu terus mengkikik dengan penuh sukacita.
Maya membelalak ngeri. Ketika sosok tubuh yang tadinya mirip bagas itu mengarahkan alat kelaminnya yang bukan main panjang dan besarnya itu ke lubang kemaluannya. Ia tidak sudah tahu nasib apa yang bakal menimpanya. Sekali lagi, Maya menjerit histeris.
AAAaaaaaaaaaaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar